Terimakasih telah bertanya di media RUKUM (ruang Konsultasi Hukum) Kejaksaan Negeri Rejang Lebong.
Pada dasarnya, baik Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) maupun Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) menegaskan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
Persetujuan ini penting mengingat perkawinan bertujuan agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Menurut Pasal 16 ayat (2) KHI, bentuk persetujuan calon mempelai perempuan dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam, dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Adapun bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Bila perkawinan tersebut tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Bahkan, perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan dapat dibatalkan.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa baik menurut hukum perkawinan nasional maupun hukum Islam, perkawinan harus dilangsungkan atas dasar kesepakatan dari kedua calon mempelai. Jika ada salah satu calon mempelai yang tidak sepakat, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.
Semoga dapat menjawab.